Ontologi dalam Sosiologi

Logbook Penelitian Mahasiswa Akhir
group of happy teen high school students outdoors

Sosiologi sebagai ilmu sosial memiliki tanggung jawab besar dalam menjelaskan fenomena masyarakat. Berbeda dengan ilmu alam yang lebih bersifat empiris dan eksperimental, sosiologi kerap berhadapan dengan kenyataan yang kompleks, dinamis, dan kerap mengandung makna simbolik. Di sinilah filsafat memainkan peran penting sebagai fondasi epistemologis dan ontologis. Dalam konteks ini, ontologi menjadi kunci utama dalam memahami apa itu realitas sosial, bagaimana realitas itu ada, dan bagaimana kita mengenalinya.

Secara sederhana, ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang “ada” atau “wujud”. Dalam sosiologi, ontologi tidak hanya bertanya “apa yang ada?”, tetapi juga “bagaimana masyarakat itu ada?”, “apakah struktur sosial itu nyata?”, dan “apa status realitas individu dan institusi sosial?”. Oleh karena itu, membicarakan ontologi dalam sosiologi berarti menelaah fondasi filosofis tentang realitas sosial dan bagaimana sosiolog memandang eksistensi dari struktur, individu, budaya, dan institusi.

Baca juga: Ontologi dalam Antropologi

Apa Itu Ontologi?

Ontologi berasal dari bahasa Yunani: ontos (yang ada) dan logos (ilmu atau studi). Dalam tradisi filsafat, ontologi adalah studi tentang keberadaan. Dalam konteks ilmu sosial, ontologi digunakan untuk mengkaji apa yang dianggap nyata dalam masyarakat dan bagaimana realitas itu dipahami.

Ada dua pertanyaan mendasar dalam ontologi:

  1. Apa yang benar-benar ada?
  2. Bagaimana bentuk keberadaan itu dapat dikenali dan dipahami?

Dalam sosiologi, ini berarti menanyakan apakah “kelas sosial”, “gender”, “norma”, atau “lembaga sosial” benar-benar ada, dan jika ya, apakah mereka ada secara independen dari individu, atau hanya konstruksi sosial semata?

Ontologi dalam Tradisi Ilmu Sosial

Dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi, terdapat dua pendekatan utama dalam memahami realitas sosial melalui lensa ontologi, yaitu realisme ontologis dan konstruksionisme ontologis. Kedua pendekatan ini memiliki perbedaan yang tajam tentang bagaimana memaknai keberadaan realitas sosial.

1. Realisme Ontologis

Pendekatan ini meyakini bahwa realitas sosial ada secara objektif dan independen dari persepsi manusia. Para penganut realisme ontologis percaya bahwa struktur sosial seperti kelas, kekuasaan, institusi politik, dan budaya memiliki eksistensi yang nyata dan dapat diamati secara empiris.

Contoh: Struktur kelas dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai sesuatu yang nyata dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia, terlepas dari apakah individu sadar atau tidak akan keberadaan struktur tersebut.

Pendekatan ini lazim digunakan dalam aliran positivisme dan sosiologi fungsional. Tokoh-tokoh seperti Émile Durkheim adalah contoh klasik dari sosiolog yang berpijak pada realisme ontologis. Ia berpendapat bahwa “fakta sosial” adalah entitas nyata yang berdiri di atas individu dan mampu memengaruhi tindakan sosial.

2. Konstruksionisme Ontologis

Berbeda dengan realisme, konstruksionisme meyakini bahwa realitas sosial adalah produk konstruksi manusia. Artinya, tidak ada “realitas sosial” yang ada secara independen tanpa keterlibatan kesadaran manusia. Segala sesuatu seperti norma, nilai, identitas, bahkan kebenaran adalah hasil dari kesepakatan sosial (social agreement) dan negosiasi makna.

Contoh: Gender dipahami bukan sebagai entitas biologis, melainkan sebagai hasil konstruksi sosial yang dibentuk melalui interaksi, budaya, dan bahasa.

Pandangan ini banyak dianut oleh aliran fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan postmodernisme, serta tokoh-tokoh seperti Peter Berger dan Thomas Luckmann, yang terkenal lewat karya The Social Construction of Reality.

Ontologi dan Paradigma Sosiologi

Paradigma dalam sosiologi sangat dipengaruhi oleh posisi ontologis. Ada beberapa paradigma utama yang memiliki perbedaan tajam dalam memaknai realitas sosial:

1. Paradigma Fungsionalisme Struktural

Ontologi: Realisme Objektif

Fungsionalisme menganggap masyarakat sebagai sistem yang stabil dan terstruktur. Dalam pendekatan ini, lembaga-lembaga sosial dianggap memiliki fungsi dan struktur nyata. Individu dipandang sebagai bagian dari sistem yang lebih besar.

2. Paradigma Konflik

Ontologi: Realisme Kritis

Paradigma konflik memandang realitas sosial sebagai produk pertentangan antara kelas atau kelompok yang memiliki kepentingan berbeda. Struktur sosial dianggap nyata, tetapi juga sebagai medan perebutan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti Karl Marx menggunakan pendekatan ontologis ini untuk menyoroti ketimpangan sosial.

3. Paradigma Interaksionisme Simbolik

Ontologi: Konstruksionisme Subjektif

Pendekatan ini menolak gagasan bahwa realitas sosial ada secara objektif. Sebaliknya, ia berfokus pada bagaimana makna dibentuk melalui interaksi sosial. Realitas dianggap bersifat dinamis, subjektif, dan terus-menerus dinegosiasikan.

4. Paradigma Postmodernisme

Ontologi: Anti-Realitas Universal

Postmodernisme menolak ide tentang realitas tunggal dan universal. Ontologi dalam pendekatan ini bersifat fragmentaris, menolak adanya “kebenaran tunggal” dan lebih menekankan pluralitas realitas. Tokoh-tokoh seperti Michel Foucault dan Jean Baudrillard melihat realitas sebagai sesuatu yang dibentuk oleh wacana, kuasa, dan representasi.

Ontologi dan Penelitian Sosiologi

Pemahaman ontologi sangat memengaruhi bagaimana penelitian sosiologi dilakukan. Ontologi menentukan bagaimana peneliti memilih metode, mendefinisikan variabel, dan memahami data.

Jika Menggunakan Ontologi Realisme:

  • Penelitian bersifat kuantitatif
  • Data dianggap obyektif dan dapat diukur
  • Tujuan penelitian: mengungkap hukum sosial yang bersifat general

Contoh: Penelitian tentang korelasi antara tingkat pendidikan dan status ekonomi.

Jika Menggunakan Ontologi Konstruksionisme:

  • Penelitian bersifat kualitatif
  • Data bersifat naratif, simbolik, dan kontekstual
  • Tujuan penelitian: memahami makna subjektif dari tindakan sosial

Contoh: Penelitian etnografi tentang budaya komunitas lokal dan makna simbolik dalam tradisi mereka.

Perdebatan Ontologis dalam Sosiologi Kontemporer

Dalam perkembangan sosiologi kontemporer, terdapat perdebatan hangat seputar status realitas sosial. Beberapa perdebatan yang sering muncul antara lain:

  1. Realitas Individu vs Struktur

Apakah individu membentuk struktur sosial, atau struktur sosial yang membentuk individu?

  • Pendekatan strukturalis melihat struktur sebagai dominan (contoh: Durkheim, Marx).
  • Pendekatan agensi melihat individu sebagai aktor aktif yang membentuk realitas (contoh: Giddens, melalui teori strukturasi).
  1. Apakah “Gender” Itu Nyata?

Apakah identitas gender merupakan sesuatu yang melekat dan nyata, atau hanya konstruksi sosial?

  • Penganut realisme biologis melihat gender sebagai turunan dari seks.
  • Penganut konstruksionisme seperti Judith Butler melihat gender sebagai performatif, artinya dibentuk dan diulang dalam praktik sosial.
  1. Status Realitas Virtual

Dalam era digital, pertanyaan ontologis menjadi semakin rumit. Apakah identitas di media sosial nyata? Apakah interaksi daring sepadan dengan interaksi nyata?

Sosiolog postmodern menganggap realitas digital sebagai bentuk realitas yang sah, meskipun sifatnya tidak berwujud secara fisik.

Ontologi dan Etika dalam Sosiologi

Pertanyaan ontologis tidak hanya berakhir pada persoalan filsafat akademik. Ia juga memiliki implikasi etis. Jika realitas sosial dipahami sebagai sesuatu yang terbentuk oleh kekuasaan dan wacana, maka sosiologi juga memiliki tanggung jawab moral untuk menyoroti bagaimana struktur sosial membatasi atau mendukung kebebasan individu.

Misalnya:

  • Jika kemiskinan dianggap sebagai akibat struktur ekonomi, maka etika penelitian menuntut advokasi perubahan sistem.
  • Jika norma gender dianggap sebagai konstruksi patriarkis, maka sosiologi memiliki tugas etis untuk mendorong kesetaraan.

Mengapa Ontologi Penting untuk Sosiolog?

Meskipun terdengar sangat teoritis, pemahaman tentang ontologi sangat penting bagi sosiolog, karena:

  1. Menentukan Metode Penelitian: Pilihan antara kuantitatif dan kualitatif, survei atau wawancara, sangat tergantung pada asumsi ontologis peneliti.
  2. Membentuk Tujuan Ilmu Sosiologi: Apakah sosiologi bertujuan menjelaskan hukum sosial objektif, atau memahami makna subjektif?
  3. Mengarahkan Analisis Sosial: Pendekatan terhadap isu-isu seperti kemiskinan, kekuasaan, identitas, dan institusi sangat dipengaruhi oleh pemahaman ontologis.
  4. Memberikan Kesadaran Filosofis: Sosiolog tidak hanya menjadi teknokrat sosial, tetapi juga pemikir yang memahami hakikat realitas yang ia kaji.
Baca juga: Ontologi dalam Psikologi

Penutup: Ontologi sebagai Fondasi Ilmu Sosiologi

Ontologi dalam sosiologi bukan sekadar diskusi abstrak. Ia adalah fondasi yang menentukan bagaimana kita memandang masyarakat, bagaimana kita meneliti, dan bagaimana kita bertindak sebagai ilmuwan sosial. Memahami ontologi berarti menyadari bahwa realitas sosial tidak selalu tampak sebagaimana adanya. Ia bisa nyata, bisa dibentuk, bisa berubah, dan bisa dipertanyakan kembali.

Ikuti artikel Solusi Jurnal lainnya untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas mengenai Jurnal Ilmiah. Bagi Anda yang memerlukan jasa bimbingan dan pendampingan jurnal ilmiah hingga publikasi, Solusi Jurnal menjadi pilihan terbaik untuk mempelajari dunia jurnal ilmiah dari awal. Hubungi Admin Solusi Jurnal segera, dan nikmati layanan terbaik yang kami tawarkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solusi Jurnal